Ada idealisme atau semacam prinsip yang dipegang sebagian pembaca buku. Membaca buku, menurut mereka, harus dimulai dengan membaca pengantar hingga selesai, barulah berlanjut ke bagian-bagian berikutnya. Saya tidak termasuk kategori pembaca jenis ini. Saya memang suka baca pengantar pada buku-buku, tapi hanya pengantar yang menurut saya “penting dan menarik”.
Pengantar ‘penting dan menarik’ ini tentu saja menurut saya sendiri. Dan itu adalah pengantar yang: menginformasikan ide dan ambisi penulisnya; apa yang melatarbelakangi mereka menulis subjek itu; dari mana datangnya ide itu, bagaimana prosesnya; juga proses diseminasi pikiran atau ide-ide itu; bersama siapa dan di mana saja telah dibicarakan; problematisasi yang mereka bangun terhadap subjek yang mereka pelajari; serta, kadang-kadang, peta pikiran penulisnya di antara pikiran-pikiran sarjana lain yang telah lebih dulu ada di bidang yang sama. Bagian peta pikiran ini biasanya dibahas di bab I. Tapi, sejak pengantar, biasanya penulis akan menyebut orang-orang yang berkontribusi terhadap pikirannya—yang ia tulis dalam buku itu. Semacam peer group-nya.
Dari peer group itu, kita bisa menebak di lingkaran dan tradisi pemikiran seperti apa para penulis itu berada, pemikiran yang mempengaruhinya, dan di posisi mana mereka menempatkan dirinya. Oh, iya, buku yang saya maksud di sini adalah buku non-fiksi, terutama dalam ilmu sosial—politik, sosiologi, antropologi, hukum dan kriminologi—yang biasa saya baca.
Selain peta pikiran yang ketahuan dari lingkaran pertemanan penulis itu, saya juga biasanya suka menandai pernyataan yang menurut saya menarik dan mewakili posisi penulisnya dalam subjek yang ia bicarakan. Beberapa penulis ahli yang kreatif akan menggunakan metafora. Ini yang paling saya sukai. Saya akan mengingat pernyataan metaforis dan pengantar seperti itu sebagai pengantar yang bagus dan mengesankan. Ini akan saya baca kembali di lain waktu. Biasanya pengantar semacam ini ditulis oleh sarjana/scholars/ilmuan senior (profesor senior) di bidang mereka.
Misalnya, dua bulan lalu saya baca The Limits Of The Criminal Sanction-nya Herbert Packer (1960). Buku ini bicara filsafat dan politik penghukuman. Di bagian akhir pengantar, Pak Packer menulis begini:
In the end, this is an argument about the uses of power. The criminal sanction is the paradigm case of the controlled use of power within a society. It raises legal issues that are too important to be left to the lawyers, philosophic issues that are too important to be left to the philosophers, and behavioral science issues that are too important to be left to the behavioral scientists. That is why the argument is addressed, with affectionate respect, to the Common Reader.
Bayangkan, buku ini terbit pertama kali 1960, dan Pak Packer sudah kasih clue atas apa yang hari-hari ini disebut para sarjana ilmu sosial sebagai interdisipliner, multidisiplin, hingga interseksional dalam metodologi, cara kerja, atau pendirian. Dari pernyataan itu, agaknya Pak Packer mau mendekonstruksi apa yang disebut sebagai spesialisasi atau kepakaran yang terspesialisasi yang melulu dimonopoli para “teknisi” hukum dalam hukum pidana.
Tapi entahla, itu tebakan asal-asalan saya saja. Yang pasti, pernyataan penutup pengantar itu mengesankan sekali buat saya. Ia seperti ingin mengajak semua orang untuk memikirkan hal-hal yang telah terkotak-kotakan menurut kategori tertentu secara mapan. Apakah hal itu realistis atau tidak, saya tidak ambil pusing. Yang penting semangatnya dulu, ya kan?
Pengantar lain yang saya juga baru baca bulan ini adalah pengantarnya Anna Tsing di bukunya, Friction (2004). Di halaman 5, bagian pengantar, Bu Anna menulis begini:
In fact, motion does not proceed this way at all. How we run depends on what shoes we have to run in. Insufficient funds, late buses, security searches, and informal lines of segregation hold up our travel; railroad tracks and regular airline schedules expedite it but guide its routes […].
Bu Anna ini professor antropologi. Friction adalah riset dia di Kalimantan yang dibukukan. Friction, kata Bu Anna, adalah suatu proses produksi bersama kebudayaan yang terus-menerus (contiually co-produced). Maka, Friction atau gesekan adalah canggung, tidak setara, tidak stabil, dan kualitas kreatif dari interkoneksi di antara perbedaan. Lewat Friction, beliau berusaha menjelaskan hubungan ‘universalitas’ yang bekerja melalui ‘globalisasi’ dengan hal-hal praktis yang bersifat lokal dan partikular. Buat Bu Anna, partikularitas tidaklah terdeterminasi oleh universalitas melainkan saling bergesek secara bersamaan. Saya tidak akan panjang lebar soal friction di tulisan ini. Toh bukan itu tujuan saya menulis di sini. Sudahla.
Ya kira-kira begitu saja. Saya tidak bermaksud membicarakan panjang-lebar isi suatu buku di sini. Saya cuma mau bikin catatan saja atas apa yang menurut saya mengesankan dan menyenangkan dari membaca pengantar pada sebuah buku — yang mungkin bagi orang lain biasa-biasa saja. Maksud saya, pengantar yang ditulis oleh penulis bukunya sendiri, bukan yang ditulis orang lain atas suatu buku.
Demikian kira-kira ceramah singkat yang tidak begitu penting ini.
Penulis
Ali Rahangiar, peneliti lepas-lepasan.
Ilustrasi