

(Untuk Buruh Migran yang Dideportasi
Dari Sabah, Malaysia ke Pulau Nunukan, Indonesia tahun 2002)
1/
Kenapa begini nasib?
Begini kah hidup?
Hanya untuk nafkah,
keluarga di kampung.
Menyebrang laut dengan kapal,
bertaruh nasib di lautan
perbatasan Pulau Nunukan – Sabah,
antara hidup dan mati.
Sabah dan seisinya
urusan pada rumah tangga,
sajian pada kedai-kedai,
kayu pada bangunan,
minyak goreng pada makanan,
cokelat pada minuman,
kekayaan majikan,
keringat buruh migran
mengucur deras.
Dibalas dengan upah murah.
2/
Diburu Aparat,
saat berkerja,
saat tertidur,
saat mengandung,
saat bersembunyi.
Dihajar pentungan,
dicambuk berkali-kali
dirampas kebebasan.
Dilempar ke detensi ‘rumah merah’,
dihajar lagi, menderita lagi,
antara hidup dan mati.
Dibikin miskin, lalu diusir,
hanya karena lembaran dokumen.
3/
Tahun dua ribu dua.
Penuh luka, derita, dan rasa sakit.
Ratusan ribu Buruh Migran dari Sabah–
diusir ke Pulau Nunukan.
Tanpa rumah, tanpa tanah,
orang tua, anak-anak dan bayi
sesak di barak dan penampungan
beberapa sudah mendahului.
Sirna rasanya harapan,
antara hidup dan mati.
4/
Pendatang asing tanpa izin,
begitu Buruh Migran Tanpa Dokumen
disebut oleh negara.
Dicap ilegal, penjahat, hina.
Ada; juga tiada,
Dibutuhkan; juga dibuang.
Tanya menyelinap di kepala.
Adakah asing,
bagi siapa yang membangun suatu negeri?
Adakah kejahatan,
bagi siapa yang ingin melanjutkan kehidupan?
Sekali lagi, adakah itu semua?!
5/
Malam ramai terasa sunyi di Pulau Nunukan.
Seorang buruh migran mencari jawaban,
bukan pada Indonesia
bukan pada Malaysia
bukan pada Megawati
bukan pada Mahatir
bukan pada perusahaan.
Melainkan pada tuhan.
Seutas tali dikencengkan ke leher.
Sekencang amarah kepada dunia tanpa hati.
Kaki dingin penuh koreng,
bergetar di atas bangku.
“Tuhan, kita akan segera bertemu.”
“Gbrakkkkkkkkk!!!”
mendapat jawaban.
6/
Tanpa tanda pengenal.
Orang-orang diselimuti tanya.
Siapa namanya?
Siapa keluarganya?
Dengan prosesi apa dimakamkan?
Terukir apa nanti di batu nisan?
Kuburan sunyi tanpa sesiapa.
Tanpa ziarah dan tabur bunga,
mati dengan sepi.
Kalau pun ada doa
mungkin sedang mencari nama
entah dalam arsip sejarah
atau ingatan warga.
Ad’har,
Pulau Nunukan, 03 Maret 2024.